Toleransi dan Kerukunan Tak Harus Mencampur-adukkan dengan Akidah
Istilah toleransi dan radikalisme adalah dua kata jebakan terhadap Islam dan kaum muslimin
NARASI toleransi dan radikalisme adalah wacana Barat untuk mendekonstruksi Islam dan menjebak kaum muslimin. Menjelang hari Natal misalnya, umat Islam diarahkan untuk ikut merayakannya, padahal jelas hukumnya haram. Bahkan ada beberapa sekte kristen seperti Saksi Yahuwa, Adventis [GMHK] dan Mormon tidak merayakan Natal karena dianggap bid’ah ajaran kafir, sebab diyakini tanggal 25 Desember adalah kelahiran dewa matahari, bukan kehaliran Yesus.
Begitupun saat menjelang tahun baru masehi yang merupakan tradisi di luar Islam, maka umat Islam diharamkan merayakan dengan berbagai bentuk aktivitas khusus. Namun ironisnya, umat Islam yang tidak merayakan natal dan tahun baru sering distigma sebagai kaum intoleran dan radikal.
Bahkan berbagai Aksi Bela Islam yang dilakukan oleh kaum muslimin pada akhir tahun 2016 hingga 212 tahun 2018 sebagai respons atas aksi penistaan Islam justru seringkali dinilai sebagai aksi intoleran dan dianggap memicu aksi radikalisme. Sementara sang penista sendiri tidak dianggap demikian. Kaum misionaris barat akan terus ngotot dan kebelet untuk mendekonstruksi Islam dengan berbagai cara licik seperti ular hingga cara-cara halus seperti merpati.
Karena itu mendudukkan postulat toleransi dan radikalisme dalam paradigma yang benar jauh lebih penting sebelum menganalisa berbagai fakta dan dinamika gerakan kaum muslimin akhir-akhir ini. Jika istilah toleransi dan radikalisme hendak disematkan kepada Islam dan kaum muslimin, maka kedua istilah ini juga harus digali dari epistemologi Islam. Akan menjadi masalah jika kedua istilah itu justru ditimbang dengan epistemologi neomodernisme Barat. Sebab secara diametral kedua epistemologi itu sangat berbeda, baik dari asas, metode dan penafsiran.
Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin memiliki paradigma yang khas terkait berbagai konsep pemikiran dan nilai-nilai. Membicarakan Islam mesti merujuk kepada sumber nilai agama ini yakni Al Qur’an dan al Hadist, bukan perilaku umatnya, apalagi dengan menggunakan sumber nilai dari luar Islam. Islam sebagai sebuah konsepsi berbeda dengan muslim sebagai orang yang menjalankan nilai. Sebab perilaku orang muslim tidak selalu mencerminkan nilai-nilai Islam.
Bahkan jika ditelusuri lebih dalam banyak sekali konsepsi-konsepsi paradigmatik menggunakan kata Islam justru berasal dari paradigma Barat yang anti Islam. Sebagai contoh istilah-istilah yang berkembang dalam dunia akademik seperti Islam liberal, Islam Inklusif, Islam radikal, Islam moderat dan bahkan Islam fundamentalis. Istilah-istilah itu sesungguhnya secara genealogis bukan berakar dari epistemologi Islam.
Istilah-istilah itu dibangun berdasarkan kajian-kajian epistemologi Barat yang disinyalir justru untuk memecah persatuan kaum muslimin. Dari perbedaan pendapat atas istilah-istilah itulah seringkali menimbulkan berbagai friksi internal kaum muslimin.
Hegemoni demokrasi yang sudah terlanjur banyak diadopsi oleh kaum muslimin di dunia telah menempatkan Islam sebagai obyek. Islam ditempatkan sebagai obyek penilaian yang kadang tidak proporsional. Hasilnya jika Islam dan perilaku kaum muslimin tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi Barat maka akan diberikan lebel fundamentalis dan radikalis. Sementara pemahaman Islam yang sejalan dengan nilai-nilai Barat seperti kebebasan dan HAM akan dianggap sebagai Islam moderat mitra Barat. Umat Islam dituduh radikal jika tidak pro barat dan disebut moderat jika pro barat penjajah.
Sebagai contoh paling jelas adalah penilaian Barat terhadap konsep jihad sangat berbeda dengan konsep Islam. Kata jihad menurut Sayyid Sabiq berasal dari kata juhd, artinya upaya, usaha, kerja keras dan perjuangan. Seorang muslim dikatakan berjihad jika ia berusaha mati-matian dengan mengerahkan segenap kemampuan fisik maupun material dalam memerangi dan melawan musuh agama (Islam) (lihat Fiqh as Sunnah, Bairut : Mu’assasat ar Risalah, 1422 H/2002,3:79). Makna singkatnya jihad berarti berperang melawan musuh Islam (lihat QS 9 :73 dan 66 : 9).
Konsep jihad yang digali dari epistemologi Islam ini oleh Barat dianggap sebagai sebuah ancaman bagi hegemoni demokrasi. Karena itu konsep jihad oleh Barat direduksi menjadi sekedar bersungguh-sungguh dan menghapus makna jihad dengan perang. Makna reduktif inilah yang kemudian diadopsi oleh pengusung Islam moderat. Sementara gerakan dakwah yang masih berpegang teguh atas makna jihad yang sesungguhnya dianggap sebagai gerakan radikal dan fundamentalis bahkan dianggap teroris.
Problem epistemologis inilah yang kini sedang dikembangkan di negeri ini. Kata toleransi oleh Barat dimaknai sebagai paham pluralisme yang oleh fatwa MUI 2005 telah dinyatakan haram. Sebab pluralisme adalah paham yang mengakui kebenaran setiap agama. Konsep pluralisme Barat memiliki dimensi teologis, sementara dalam Islam pluralitas itu berdimensi sosiologis. Sebab Islam melarang kaum muslimin untuk mencampur aduk kebenaran dan kebatilan. Karena itu haram hukumnya mengucapkan salam pluralisme yang menyebutkan ucapan salam agama-agama secara bersamaan.
Islam adalah agama toleran dalam arti menghargai keragaman suku, agama dan bahasa. Daulah Islam yang dipimpin oleh Rasulullah sebagai representasi penerapan hukum Islam justru dengan indah menghargai dan melindungi entitas teologis dan sosiologis yang berbeda selama mentaati aturan daulah Islam dengan membayar jizyah.
Allah menegaskan Islam sebagai agama toleran dalam surat al Kafirun ayat 1 sampai 6, Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Sementara perjuangan Islam adalah sebuah kewajiban setiap muslim. Perjuangan Islam sebagaimana dilakukan oleh Rasul adalah dengan dakwah hingga Islam menjadi rahmat bagi alam semesta. Islam adalah agama dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat akan kebenaran Islam, tanpa ada unsur paksaan.
Sementara Jihad adalah upaya mempertahankan negara dan kaum muslimin dari serangan dan penjajahan musuh-musuh Islam sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah dan para ulama masa penjajahan. Konsep jihad dan implementasinya adalah sebuah kemuliaan karena bagian dari ketundukan akan perintah Allah. Berbeda dengan konsep dan aksi terorisme yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Dengan demikian istilah toleransi dan radikalisme adalah dua kata jebakan ekstrim terhadap Islam dan kaum muslimin ketika ditimbang berdasarkan epistemologi Barat. Sementara masyarakat muslim seringkali salah kaprah dalam memahami istilah toleransi dan radikalisme. Dua kutub yang diciptakan Barat bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Kutub pertama toleransi dalam arti pluralisme dan kutub kedua jihad dalam arti terorisme atau radikalisme. Sebab Islam adalah agama sempurna, mulia dan penuh perdamaian. Islam bukan agama oplosan tapi juga bukan agama terorisme. Islam adalah Islam dengan seluruh kemuliaan ajarannya, tanpa embel-embel yang berasal dari sumber di luar Islam. Islam sebagaimana asal katanya bermakna selamat, sejahtera dan damai.
Maka teruslah waspada terhadap kejahatan Barat dalam merusak Islam dan kaum muslimin dengan narasi toleransi, intoleransi, moderat dan radikalisme ini. Umat Islam diharamkan mencampur aduk ajaran Islam dengan agama lain. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” [QS Al Baqarah : 42].*
Sumber : Forum Doktor Islam Indonesia (www.hidayatullah.com)
Ilustrasi Mahasiswa IAIN Walisongo Acara Misa |
NARASI toleransi dan radikalisme adalah wacana Barat untuk mendekonstruksi Islam dan menjebak kaum muslimin. Menjelang hari Natal misalnya, umat Islam diarahkan untuk ikut merayakannya, padahal jelas hukumnya haram. Bahkan ada beberapa sekte kristen seperti Saksi Yahuwa, Adventis [GMHK] dan Mormon tidak merayakan Natal karena dianggap bid’ah ajaran kafir, sebab diyakini tanggal 25 Desember adalah kelahiran dewa matahari, bukan kehaliran Yesus.
Begitupun saat menjelang tahun baru masehi yang merupakan tradisi di luar Islam, maka umat Islam diharamkan merayakan dengan berbagai bentuk aktivitas khusus. Namun ironisnya, umat Islam yang tidak merayakan natal dan tahun baru sering distigma sebagai kaum intoleran dan radikal.
Bahkan berbagai Aksi Bela Islam yang dilakukan oleh kaum muslimin pada akhir tahun 2016 hingga 212 tahun 2018 sebagai respons atas aksi penistaan Islam justru seringkali dinilai sebagai aksi intoleran dan dianggap memicu aksi radikalisme. Sementara sang penista sendiri tidak dianggap demikian. Kaum misionaris barat akan terus ngotot dan kebelet untuk mendekonstruksi Islam dengan berbagai cara licik seperti ular hingga cara-cara halus seperti merpati.
Karena itu mendudukkan postulat toleransi dan radikalisme dalam paradigma yang benar jauh lebih penting sebelum menganalisa berbagai fakta dan dinamika gerakan kaum muslimin akhir-akhir ini. Jika istilah toleransi dan radikalisme hendak disematkan kepada Islam dan kaum muslimin, maka kedua istilah ini juga harus digali dari epistemologi Islam. Akan menjadi masalah jika kedua istilah itu justru ditimbang dengan epistemologi neomodernisme Barat. Sebab secara diametral kedua epistemologi itu sangat berbeda, baik dari asas, metode dan penafsiran.
Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin memiliki paradigma yang khas terkait berbagai konsep pemikiran dan nilai-nilai. Membicarakan Islam mesti merujuk kepada sumber nilai agama ini yakni Al Qur’an dan al Hadist, bukan perilaku umatnya, apalagi dengan menggunakan sumber nilai dari luar Islam. Islam sebagai sebuah konsepsi berbeda dengan muslim sebagai orang yang menjalankan nilai. Sebab perilaku orang muslim tidak selalu mencerminkan nilai-nilai Islam.
Bahkan jika ditelusuri lebih dalam banyak sekali konsepsi-konsepsi paradigmatik menggunakan kata Islam justru berasal dari paradigma Barat yang anti Islam. Sebagai contoh istilah-istilah yang berkembang dalam dunia akademik seperti Islam liberal, Islam Inklusif, Islam radikal, Islam moderat dan bahkan Islam fundamentalis. Istilah-istilah itu sesungguhnya secara genealogis bukan berakar dari epistemologi Islam.
Istilah-istilah itu dibangun berdasarkan kajian-kajian epistemologi Barat yang disinyalir justru untuk memecah persatuan kaum muslimin. Dari perbedaan pendapat atas istilah-istilah itulah seringkali menimbulkan berbagai friksi internal kaum muslimin.
Hegemoni demokrasi yang sudah terlanjur banyak diadopsi oleh kaum muslimin di dunia telah menempatkan Islam sebagai obyek. Islam ditempatkan sebagai obyek penilaian yang kadang tidak proporsional. Hasilnya jika Islam dan perilaku kaum muslimin tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi Barat maka akan diberikan lebel fundamentalis dan radikalis. Sementara pemahaman Islam yang sejalan dengan nilai-nilai Barat seperti kebebasan dan HAM akan dianggap sebagai Islam moderat mitra Barat. Umat Islam dituduh radikal jika tidak pro barat dan disebut moderat jika pro barat penjajah.
Sebagai contoh paling jelas adalah penilaian Barat terhadap konsep jihad sangat berbeda dengan konsep Islam. Kata jihad menurut Sayyid Sabiq berasal dari kata juhd, artinya upaya, usaha, kerja keras dan perjuangan. Seorang muslim dikatakan berjihad jika ia berusaha mati-matian dengan mengerahkan segenap kemampuan fisik maupun material dalam memerangi dan melawan musuh agama (Islam) (lihat Fiqh as Sunnah, Bairut : Mu’assasat ar Risalah, 1422 H/2002,3:79). Makna singkatnya jihad berarti berperang melawan musuh Islam (lihat QS 9 :73 dan 66 : 9).
Konsep jihad yang digali dari epistemologi Islam ini oleh Barat dianggap sebagai sebuah ancaman bagi hegemoni demokrasi. Karena itu konsep jihad oleh Barat direduksi menjadi sekedar bersungguh-sungguh dan menghapus makna jihad dengan perang. Makna reduktif inilah yang kemudian diadopsi oleh pengusung Islam moderat. Sementara gerakan dakwah yang masih berpegang teguh atas makna jihad yang sesungguhnya dianggap sebagai gerakan radikal dan fundamentalis bahkan dianggap teroris.
Problem epistemologis inilah yang kini sedang dikembangkan di negeri ini. Kata toleransi oleh Barat dimaknai sebagai paham pluralisme yang oleh fatwa MUI 2005 telah dinyatakan haram. Sebab pluralisme adalah paham yang mengakui kebenaran setiap agama. Konsep pluralisme Barat memiliki dimensi teologis, sementara dalam Islam pluralitas itu berdimensi sosiologis. Sebab Islam melarang kaum muslimin untuk mencampur aduk kebenaran dan kebatilan. Karena itu haram hukumnya mengucapkan salam pluralisme yang menyebutkan ucapan salam agama-agama secara bersamaan.
Islam adalah agama toleran dalam arti menghargai keragaman suku, agama dan bahasa. Daulah Islam yang dipimpin oleh Rasulullah sebagai representasi penerapan hukum Islam justru dengan indah menghargai dan melindungi entitas teologis dan sosiologis yang berbeda selama mentaati aturan daulah Islam dengan membayar jizyah.
Allah menegaskan Islam sebagai agama toleran dalam surat al Kafirun ayat 1 sampai 6, Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Sementara perjuangan Islam adalah sebuah kewajiban setiap muslim. Perjuangan Islam sebagaimana dilakukan oleh Rasul adalah dengan dakwah hingga Islam menjadi rahmat bagi alam semesta. Islam adalah agama dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat akan kebenaran Islam, tanpa ada unsur paksaan.
Sementara Jihad adalah upaya mempertahankan negara dan kaum muslimin dari serangan dan penjajahan musuh-musuh Islam sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah dan para ulama masa penjajahan. Konsep jihad dan implementasinya adalah sebuah kemuliaan karena bagian dari ketundukan akan perintah Allah. Berbeda dengan konsep dan aksi terorisme yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Dengan demikian istilah toleransi dan radikalisme adalah dua kata jebakan ekstrim terhadap Islam dan kaum muslimin ketika ditimbang berdasarkan epistemologi Barat. Sementara masyarakat muslim seringkali salah kaprah dalam memahami istilah toleransi dan radikalisme. Dua kutub yang diciptakan Barat bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Kutub pertama toleransi dalam arti pluralisme dan kutub kedua jihad dalam arti terorisme atau radikalisme. Sebab Islam adalah agama sempurna, mulia dan penuh perdamaian. Islam bukan agama oplosan tapi juga bukan agama terorisme. Islam adalah Islam dengan seluruh kemuliaan ajarannya, tanpa embel-embel yang berasal dari sumber di luar Islam. Islam sebagaimana asal katanya bermakna selamat, sejahtera dan damai.
Maka teruslah waspada terhadap kejahatan Barat dalam merusak Islam dan kaum muslimin dengan narasi toleransi, intoleransi, moderat dan radikalisme ini. Umat Islam diharamkan mencampur aduk ajaran Islam dengan agama lain. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” [QS Al Baqarah : 42].*
Sumber : Forum Doktor Islam Indonesia (www.hidayatullah.com)
0 Response to "Toleransi dan Kerukunan Tak Harus Mencampur-adukkan dengan Akidah"
Posting Komentar